We’ve updated our Terms of Use to reflect our new entity name and address. You can review the changes here.
We’ve updated our Terms of Use. You can review the changes here.

Enola - Demo MMXX

by Enola

/
  • Streaming + Download

    Includes unlimited streaming via the free Bandcamp app, plus high-quality download in MP3, FLAC and more.
    Purchasable with gift card

      $3 USD  or more

     

1.
Skin to Skin 05:54
Unavailable
2.
Jam pendule berdentang enam kali, saat sinar matahari mulai menyusup, dan mencolok mataku. Seraya hantu-hantu di dalam kepalaku mulai menyeruak di pikiran. Bergentayangan, bergelayut, saling tusuk, dan saling melemparkan dosa dan pertanyaan yang datang dari masa lalu. Aku mulai mengigil dan merasa kerdil. Disela-sela upayaku memejamkan mata, doa tak pernah putus kurapalkan. Kudaras dengan penuh khidmat. Di setiap subuh, dan saat malam pekat. “Aku menyerahkan diriku atas nama setan-setan yang bergentayangan. Aku tak banyak minta. Jika kau memang maha segalanya, selamatkan aku dari hidup yang penuh dengan kenaasan dan kesia-siaan belaka. Aku tak pernah meminta apa-apa, tolong, utus salah satu malaikat maut untuk menjemputku. Segera. ” Doa-doa itu, tak hanya kurapal. Beberapa kali, doa itu juga kutulis dalam sebuah kertas, dan kubiarkan terbakar. Konon, potongan kulit-kulit kayu akan lebih cepat sampai di surga. Barangkali, jika Kau tak sempat mendengar doaku. Barangkali Kau tak sengaja membacanya, dari kertas-kertas berserakan yang kupaksa menemui ajalnya itu. Satu-satunya cita-citaku saat ini adalah bisa tidur dengan sempurna. Atau tertidur selamanya. Aku mengikari janji pada diriku sendiri, kutenggak pil dengan dosis tiga kali lipat sekali lagi. Jika Tuhan terlalu sibuk, maka aku akan menuntun jiwaku pulang. Dengan jalanku sendiri. Sekalipun itu terjal dan sunyi. Akan kujalani. ** Di atas sebuah sampan yang bergoyang pelan, aku terbangun. Pendar air laut berwarna keemasan, menyilaukan mataku. Suara angin, dan sengau burung Komoran memecah kesunyian. Sementara, seorang perempuan dengan rambut hitam legam, duduk ditepi sampan. Perempuan itu mengenakan baju putih seperti salju dan topi jerami. Kakinya menjuntai ke laut, sementara pandangannya terlempar jauh. Memandang hamparan tampak gelombang biru, dengan tatapan sayu. Di telinganya, terselip bunga kenanga. Aku mengenalnya. Seperti hantu-hantu pesakitan yang menggerogoti isi kepalaku, ia datang dari lembah yang sama. Ingatan masa lalu, yang berdebu. Ingatan saat dimananya berkemilauan, saat harapanku masih merangkak bertumbuh, dan belum ditumpas oleh dua pembunuh berdarah dingin bernama Hari ini dan Masa Depan. Aku belum juga bergerak. Dari mataku yang paling ujung, diam-diam aku menikmatinya. Kami hanya dipisahkan oleh tiang layar sampan. Kupandang dalam-dalam sembari berbaring, aku hanya tak ingin membuyarkan lamunanya. Tetapi, ia menggerakan leher jenjangnya ke arahku. Senyumnya, merekah pelan. Pelan sekali. Waktu terhenti, dan membenamkanku angslup ke dalam celah bibirnya yang berwarna merah pucat itu. Ia melambaikan tangannya, pelan sekali. Gesturnya, berubah memanggilku untuk turut duduk di tepi sampan, bersama dengannya. Tetapi, tubuhku terpaku. Aku tak bisa bergerak, dan serasa mati. Ia kembali memandang laut, lebih jauh dari sebelumnya. Dan dari tangan yang ia sembunyikan, ia mengambil bunga daisy. Didekatkan pada bibirnya yang tipis, dan ia meniupnya. Daun-daun mulai ambrol, berguguran. Tepat, seperti harapanku yang lamat-lamat musnah ditelat oleh dunia yang kian ganas. “Kemari,” katamu. “Ikan-ikan berlompatan, dan matahari hampir tenggelam. Kemarilah. Cepat. Sebelum aku pulang.” Perlahan, aku mulai bangun dan berjalan sempoyongan ke menghampirinya. Ia menyambutku, dengan tangan terbuka. Sebelum aku mulai hanyut ke dalam pelukannya, ia memberikan sisa bunga daisy, dan meminta aku meniupnya. “Tutup matamu. Katakan harapanmu. Jangan bersuara. Tiuplah pelan. Pelan sekali. Seperti Tuhan memanggil namamu di hari keempat puluh di rahim ibumu,” katanya. Di dalam tubuh perempuan itu, ada tujuh ahli nujum terbaik dari tujuh benua yang bersemayam. Kata-katanya seperti mantra sihir. Tak satu kata bantahan pun melesat dari mulutku. Waktu membeku, sementara harapan-harapan meleleh. Aku tidak tahu, doa apa yang harus kuucap. Kematian, yang mulanya kuimpikan meleleh diterpa sorot matanya. Aku pun mulai menutup mata, dan kurapal sebuah doa. Aku tak begitu ingat detilnya. Yang aku tahu, aku hanya ingin hidup seperti ini selamanya. Tetapi, saat mulutku mulai meniup sisa-sisa daisy miliknya, perempuan itu perlahan mulai terkikis angin yang lembut meluncur membelaiku. Tangannya melambai sekali lagi. Begitu dekat. “Aku menunggumu,” adalah kata-kata terakhir yang lahir dari mulutnya. Tanpa tahu dari mana datangnya tenaga, tubuhku yang mulanya lesu menjadi penuh gairah. Seolah tak ingin mengakhiri perjumpaan, aku berlari melompat dari geladak sampan dan berusaha menangkap sisanya. Aku melompat. Tinggi sekali. Namun, tubuhmu berhamburan dan membaur dengan udara dengan cepat. Aku pun terjerembab. Seolah, lautan biru yang mulanya indah, berganti rupa. Ia menjadi paus dengan mulut menganga yang bersiap menelanku. Belum sampai aku menyentuh permukaan air, tiba-tiba suara ketukan pintu membuyarkan mimpiku. Panggilan datang, dan mataku mulai terbuka dengan segera. Aku menghela nafas panjang, dan sekejap mengetahu bahwa kebahagiaan adalah fana. Hanya duka yang abadi. Sementara, ketukan pintu semakin keras. Aku tak punya pilihan lain, selain melanjutkan hidup di dunia yang penuh dengan segala tipu cidera ini. Aku tak tahu, bagaimana hariku akan berjalan hari ini. Satu-satunya yang pasti adalah, di balik pintu itu, hantu-hantu yang tak pernah lelah menguntitku telah menunggu. Mereka tak sabar, untuk kembali membunuhku. Menumpas mimpiku. Dan membangunkanku. Sekali lagi. *) Kisah ini adalah interpretasi dari Servant of Maldoror Manifesto dari single ke-2 lagu “Fill The Void” karya Enola.

credits

released June 22, 2020

license

Some rights reserved. Please refer to individual track pages for license info.

tags

about

Maldoror Manifesto Surabaya, Indonesia

Lunatic Madrigal Commune hailing from slumber district Surabaya, Indonesia

contact / help

Contact Maldoror Manifesto

Streaming and
Download help

Report this album or account

If you like Enola - Demo MMXX, you may also like: